Sang Penari: Potret Kehidupan Seorang Ronggeng
Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk memutuskan menyaksikan film ini di bioskop. Salah satu alasannya adalah film-film Indonesia lainnya yang (masih saja) berpusat kepada topik yang itu-itu saja, membuat saya tidak terlalu berminat menoleh film Indonesia sekarang-sekarang ini.
Saya tertarik dengan film ini karena mengetahui bahwa film ini terinspirasi dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Ahmad Tohari sekitar tahun 80-an. Merasa pernah membaca novel tersebut beberapa tahun lalu, saya pun tergelitik untuk menyaksikan film ini yang katanya terinspirasi dari novel tersebut.
Sang Penari berkisah mengenai kehidupan seorang ronggeng Dukuh Paruk bernama Srintil (Prisia Nasution). Selama bertahun-tahun, Dukuh Paruk tidak memiliki ronggeng setelah insiden keracunan bongkrek massal di dukuh tersebut yang merenggut nyawa beberapa warga desa, termasuk satu-satunya ronggeng yang dimiliki dukuh tersebut. Ketika peristiwa tersebut terjadi, Srintil masih kecil dan dalang di balik keracunan massal tersebut adalah orangtuanya yang kebetulan produsen bongkrek di dukuh tersebut. Ketika dewasa, Srintil ingin sekali menjadi ronggeng, untuk mengabdikan diri kepada dukuhnya dan membersihkan nama baik keluarganya akibat peristiwa yang mempermalukannya di masa lalu.
Pilihan Srintil untuk menjadi ronggeng tidak melewati jalan yang mulus-mulus saja. Dia sempat ditolak dan dianggap tidak pantas menjadi ronggeng. Belum lagi reaksi negatif yang ditunjukkan Rasus (Oka Antara), sahabat masa kecilnya, saat mengetahui niatnya untuk menjadi ronggeng. Srintil pun harus melapangkan dada saat harus menjalankan tugasnya sebagai ronggeng yang tidak hanya menari namun juga melayani pria-pria yang mampu membayarnya dengan harga tinggi. Hidup Srintil semakin berliku saat PKI merasuk ke Dukuh Paruk, menjadikan kesenian ronggeng Dukuh Paruk sebagai alat propaganda.
Terinspirasi, Bukan Mengadaptasi
Ada satu hal penting yang harus digarisbawahi saat menyaksikan film ini. Sutradara Ifa Isfansyah menyatakan bahwa film ini dibuat karena ia terinspirasi oleh novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Novel yang terdiri dari tiga jilid tersebut dibuat dengan sangat epik oleh Ahmad, menggabungkan unsur budaya, romansa, dan politik menjadi satu. Kisah semacam itulah yang sangat ingin diangkat Ifa ke layar lebar. Berkiblat ke novel tersebut, Ifa bersama dua orang lainnya menyusun script untuk film yang kemudian diberi judul “Sang Penari” ini.
Banyak pihak yang memuji film ini karena tidak hanya mengedepankan unsur romansanya saja, namun juga menonjolkan bagian-bagian lainnya, seperti kebudayaan dan politik. Namun, Ifa mengaku jika sejak awal membuat film ini, ia memfokuskan diri di kisah percintaan antara Srintil dan Rasus; sebuah fakta yang cukup menarik karena kenyataannya ia menampilkan sebuah film yang menonjolkan berbagai unsur yang memperkaya film tersebut.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah keberanian Ifa memvisualisasikan pembantaian yang dilakukan sehubungan dengan pemberantakan PKI. Yep, film ini berlatar tahun 60-an yang mengambil sejarah kelam Indonesia saat PKI sempat tumbuh subur di negara ini, termasuk di Dukuh Paruk. Walau begitu, cara Ifa menggambarkan kehadiran partai komunis tersebut sangatlah halus dan implisit: hanya ditandai dengan simbol-simbol merah. Namun, ini akan menjadi halangan tersendiri jika film ini “dilempar” ke pasar internasional karena simbol-simbol tersebut tidak akan cukup membuat orang yang tidak mengetahui sejarah Indonesia untuk paham dan menyelami maksud yang ingin disampaikan Ifa.
Dari segi akting dan kualitas pemain, saya cukup terperangah melihat penampilan Prisia Nasution yang selama ini wajahnya wara-wiri di FTV. Aktingnya sebagai Srintil sangat memukau, walaupun kekakuan masih terlihat jelas di logat jawa dan akting menarinya. Lawan main Prisia, Oka Antara, pun berhasil memerankan karakter Rasus dengan alamiah. Chemistry antara keduanya pun terjalin dengan baik sejak awal film. Selain dua pemain tersebut, film ini dipenuhi bintang-bintang berkualitas, seperti Tio Pakusadewo, Slamet Rahardjo, Happy Salma, Lukman Sardi, dan Teuku Rifnu Wikana.
Film ini cukup worth it untuk ditonton, jika Anda memang penggemar setia film-film Indonesia berkualitas. Selamat menonton!
Tanggal rilis:
10 November 2011
Genre:
Drama, sejarah
Durasi:
111 menit
Sutradara:
Ifa Isfansyah
Pemain:
Prisia Nasution, Oka Antara, Slamet Rahardjo, Landung Simatupang, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, Happy Salma, dan Teuku Rifnu Wikana
Studio:
Salto Film