Kenapa Adopsi 4G di Negara Berkembang Asia Lamban?
Tahun lalu, sebanyak 63 persen perusahaan telekomunikasi di hampir semua negara Asia, menyatakan ketertarikannya mengembangkan layanan data mobile LTE 4G. Ini membuktikan, LTE 4G merupakan hal baru yang paling penting dalam ruang telekomunikasi di Asia. Negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang yang paling cepat dalam mengadopsi teknologi berkecepatan 75MBps itu. Lantas, bagaimana dengan yang ada di pasar negara berkembang di Asia?
Tahun ini, pertumbuhan sebesar 34,6 juta pelanggan LTE di Asia-Pasifik dari total 3,45 miliar pelanggan mobile di Asia, membuat adopsi 4G masih jauh dari harapan sukses.
Leslie Shannon, manajer pemasaran srategis LTE di Nokia Solutions and Network (NSN) mengatakan, hal pertama munculnya perlambatan 4G di wilayah tersebut, yakni edukasi konsumen. Mereka cenderung tidak terlalu tahu banyak ataupun apatis mengenai LTE 4G. Sebagian besar pengguna seluler juga tidak peduli apakah mereka menggunakan LTE atau apakah ponselnya mampu mengakses jaringan 4G. Umumnya, mereka hanya peduli tentang bagaimana operator telekomunikasi mampu menyediakan cakupan sinyal, konsistensi, dan kecepatan yang masih wajar alias tidak lelet.
“Untuk tujuan beberapa orang, 3G atau bahkan 2G akan cukup. Mungkin saat itu, akan menjadi penting bagi pengguna ponsel untuk mengetahui, apa perbedaan LTE dalam membuat pengalaman mobile mereka,” ungkapnya, dilansir dari Tech in Asia.
Padahal, ada satu hal yang mesti diperhatikan di Asia ialah, konsumsi mengakses video streaming merupakan yang paling besar. Akhir-akhir ini, konsumen Asia semakin sering menggunakan ponselnya guna mengakses video streaming. Ini bisa menjadi faktor utama dalam meningkatkan adopsi LTE di wilayah tersebut. Tentunya, bila pengguna menggunakan LTE, maka akan menambah pengalamannya dalam hal mengakses video streaming yang lebih cepat dan berkualitas tinggi. Sebab, kecepatan data 4G bisa sepuluh kali lipat, dibanding kecepatan 3G atau 3,5G yang hanya mampu menyentuh angka 7,2Mbps.
Perangkat mobile yang mengusung LTE, lanjut Leslie, umumnya menawarkan harga yang tinggi. Ini juga bisa menjadi hambatan terbesar untuk pasar negara berkembang di Asia. Menurutnya, perubahan besar-besaran akan terjadi, bila perangkat yang mendukung LTE menjadi lebih mudah diakses.
Markku Niemen, Country Manager di NSN Filipina menambahkan, “Jika Anda melihat 3G, harga perangkat (smartphone pendukung) sudah banyak diturunkan. Saya pikir, ini akan menjadi tidak berbeda untuk perangkat pendukung LTE,”
Ia menambahkan, sementara konsumen Asia masih menunggu smartphone pendukung menjadi lebih murah, itu bukan berarti mereka tidak dapat menikmati kecepatan setara LTE 4G. Menurutnya, perangkat portabel seperti Mi-Fi, dapat menjadi cara baru bagi konsumen untuk merasakan kecepatan LTE. Tentu tanpa harus membeli sebuah smartphone LTE. Perangkat tersebut dibanderol di kisaran US$ 50 – US$ 90 (https://www.jagatreview.com/2012/10/zte-mf70-modem-usb-pintar-yang-dilengkapi-fitur-mini-wifi-mifi/). Beberapa perusahaan telekomunikasi di Asia juga sudah mulai menawarkan bundel perangkat Mi-Fi.
“Dengan menggunakan perangkat Mi-Fi dengan kartu SIM LTE, pengguna tidak perlu memiliki sebuah smartphone pendukung LTE,” imbuh Leslie.
Meskipun terjadi berbagai hambatan, pada akhir tahun nanti diharapkan pelanggan LTE di Asia sudah meningkat hingga 72,1 juta pengguna. Selain itu, jika smartphone pendukung LTE datang dengan harga yang lebih murah, bukan hal tidak mungkin, adopsi LTE di Asia menjadi semakin cepat. Harga smartphone LTE umumnya masih dibanderol di kisaran US$ 600 – US$ 900.