Sekolah Dituntut dengan Alasan WiFi Membuat Muridnya Sakit
Akses WiFi gratis di tempat pendidikan seperti sekolah nampaknya sudah bukan menjadi hal yang aneh lagi. Di kala berbagai sekolah atau institusi semakin memajukan pendidikan dengan dukungan perangkat komputer dan WiFi, sekolah yang satu ini malah dituntut oleh orang tua murid karena sinyal WiFi yang dimiliki sekolah tersebut terlalu kuat dan menyebabkan anaknya sakit.
Penuntutan orang tua murid terhadap sekolah tersebut terjadi di Fay School, Southboro, di mana kedua orang tua murid yang dilabel sebagai “Ayah” dan “Ibu” tersebut menuntut bahwa anaknya terkena sindrom Electromagnetic Hypersensitivity, sebuah kondisi di mana seseorang terkena radiasi elektromagnetik. Si anak yang dinamakan “G” berusia 12 tahun ini menderita sakit kepala, mimisan, mual dan beberapa kondisi lainnya ketika tengah duduk di dalam kelas dan mengikuti pelajaran. Dan kejadian ini dimulai ketika sekolah tersebut mulai memasang sistem WiFi pada tahun 2013 lalu.
Orang tua murid tersebut menuntut sekolah melalui jalur hukum agar sekolah Fay tersebut mengalihkan WiFi menjadi akses Ethernet, menurunkan sinyal WiFi di kelas sang anak murid, atau melakukan akomodasi lainnya. Namun pihak sekolah menolak untuk melakukannya. Tuntutan ini juga sekaligus akan mengajukan uang ganti rugi dari sekolah sebesar USD 250.000.
Atas tuntutan ini, diperiksa juga apakah kasus EHS yang dialami oleh si anak memang benar bersumber dari sinyal WiFi yang dipasang di sekolah tersebut. Para ahli hingga saat ini masih belum bisa menemukan bukti bahwa sinyal WiFi tersebut memang yang menyebabkan penyakit yang dialami oleh si anak murid. Dokter ahli yang mendiagnosis si anak tersebut juga mengungkapkannya melalui surat kepada pihak sekolah bahwa sinyal WiFi memiliki efek selular, di mana memang bisa menyebabkan beberapa kompleksitas penyakit walau tidak diketahui apakah memang memiliki efek terhadap semua orang. Namun begitu, anak kecil dan ibu hamil merupakan dua kategori yang lebih mudah terkena EHS dikarenakan berbagai hal, salah satunya karena lapisan otak mereka lebih mudah “menyerap” hal sejenis ini.
Electromagnetic hypersensitivity syndrome (EHS) sendiri memang telah diakui oleh pihak WHO, tetapi tidak begitu dikenal atau bahkan diteliti dengan cermat oleh pihak medis umum. Saat ini, pihak sekolah menolak pergantian rugi atas kasus si anak “G” karena kurangnya bukti yang otentik untuk menuntut sinyal WiFi sekolah memang menyebabkan EHS tersebut, tetapi baik pihak sekolah dan orang tua murid hendak mencari resolusi yang lebih tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini.