Game dari Timur Tengah: Sebuah Pernyataan Sikap

Developer dan Publisher game dari Amerika Serikat, khususnya mereka yang memfokuskan diri pada game-game bergenre perang dan FPS memang tidak perlu diragukan lagi. Mereka selalu membuat game yang penuh dengan aksi yang intens, kualitas grafis yang mumpuni, dan tentu saja mati-matian berusaha membangun atmosfer perperangan yang sesungguhnya. Plot cerita dan setting diusahakan serealistis mungkin dengan kondisi yang terjadi pada dunia nyata. Tetapi selalu ada satu kelemahan di dalamnya, semua ini dibangun dalam perspektif yang diyakini oleh Amerika Serikat sendiri.
Menjadi sesuatu yang biasa ketika kita melihat game perang memperlihatkan tentara Amerika melawan orang-orang Arab. Semua perspektif disediakan dalam kacamata seorang tentara Amerika, tetapi belum ada yang pernah melihatnya dari kacamata orang Arab itu sendiri. Tetapi semua kecenderungan itu dibengkokkan oleh seorang designer game asal Timur Tengah, Radwan Kasmiya.
Kasmiya tidak membuat game yang secara komersial sangat menjual, tetapi ada sebuah cerita yang unik dan berkualitas dalam setiap game yang dibuat olehnya. Pada akhir tahun 2000, Kasmiya dan teamnya yang beranggotakan 5 orang membuat sebuah game FPS berjudul Under Ash yang baru sekarang menuai kontroversi setelah Amerika memperlihatkan keberatan terhadap kebebasan menggunakan karakter di game Medal of Honor. Under Ash bukanlah sebuah game action frontal yang ditujukan untuk menjual, lebih kepada sebuah pernyataan sikap dari Kasmiya itu sendiri.
Under Ash sendiri mengambil setting yang sangat kontroversial dan cukup tabu di dunia, yakni pertikaian antara Israel-Palestina yang sepertinya tidak pernah usai. Gamer akan berperan sebagai Ahmad, seorang anak muda Palestina yang berusaha mencegah okupasi pertama Israel atas Palestina. Game akan berakhir apabila Ahmad ditembak hingga tewas atau membunuh orang-orang sipil di sekitarnya. Game ini dibuat serealistis mungkin. Dalam 12 jam permainan, Ahmad tidak akan menemukan health pack sama sekali, ditembak berarti ditembak, luka berarti luka. Kasmiya menegaskan bahwa game ini bukanlah sebuah game kejam, tidak ada darah atau anggota tubuh yang berceceran di mana-mana. Karena pada akhir di game ini, Ahmad tidak bisa melakukan apa-apa untuk Palestina dan tidak akan menang.



Walaupun game ini mengalami tingkat pembajakan cukup parah, namun hal tersebut tidak menghalangi Kasmiya membuat sekuel nya – Under Siege – yang bersettingkan okupasi kedua Israel atas Palestina. Dunia Barat sendiri dan Israel menentang keras game ini dan melihatnya sebagai sebuah propaganda terselubung. Sedangkan Kasmiya sendiri menyangkalnya. “Ini hanya sebuah game independent, bukan sebuah propaganda”.
Kasmiya sendiri mengerti bahwa game ini tidak mungkin bersaing dengan game-game FPS berkualitas tinggi buatan Barat. Dia juga tidak ingin menciptakan game dengan elemen dan pengalaman yang sama dengan game buatan Barat, sebuah game yang terlihat mirip dengan hanya menukar siapa pihak yang menjadi jagoan dan mana yang menjadi musuh. Yang Kasmiya inginkan adalah sebuah game dengan cerita. Fokusnya adalah sebuah cerita yang direfleksikan dan diambil dari apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata, sekaligus mengirimkan sebuah pesan terhadap pihak yang bertikai dan memberikan pengalaman terlibat dalam sejarah yang bersifat interaktif.
Dan bagi semua orang yang menentang fakta sejarah yang berusaha disampaikan Kasmiya, ia menjawabnya dengan jawaban yang sederhana, “If you don’t like your reflection in the mirror, don’t blame the mirror. Blame yourself!”. Jika kamu tidak senang dengan apa yang kamu lihat di kaca, jangan salahkan kacanya, tapi salahkan dirimu.