Si Anak Kampoeng: Napak Tilas Masa Kecil Sang Tokoh Besar Muhammadiyah
Jika mendengar kata “Muhammadiyah” dan “film” mungkin sebagian dari Anda masih ingat betul dengan film besutan Hanung Bramantyo, Sang Pencerah. Film tersebut mengisahkan perjuangan sang pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Nah, jika Anda berpikir bahwa film yang satu ini ada sangkut-pautnya dengan Hanung Bramantyo, Sang Pencerah, dan Ahmad Dahlan, perkiraan Anda salah. Film ini merupakan sebuah film yang berdiri sendiri. Film ini mengangkat kisah masa kecil salah satu petinggi Muhammadiyah, Buya Syafi’i Ma’arif.
Si anak Kampoeng merupakan film pertama dari rencana trilogi. Film ini merupakan adaptasi dari otobiografi Syafi’i Ma’arif yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku. Film ini mengisahkan awal kehidupan Pi’i (nama kecil Syafi’i). Lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat tahun 1930, Pi’i tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sayangnya, ia tidak bisa merasakan kasih sayang ibunya karena meninggal saat ia masih bayi. Sang ayah, Ma’rifah Rauf, sangat memperhatikan pertumbuhan Pi’i. Selain belajar di sekolah rakyat, Pi’i juga belajar silat dan ilmu agama.
Pi’i memiliki keinginan besar untuk mencapai pendidikan tinggi. Namun, sang ayah ingin agar ia bersamanya, meneruskan usaha ayahnya. Walau begitu, mimpi Pi’i untuk terus sekolah tak pernah padam. Buktinya, ia berhasil lompat kelas dan menjadi murid teladan. Sayangnya, sekolah tempatnya menuntut ilmu tidak dapat mengeluarkan ijazah akibat ketiadaan dana.
Nyaris patah semangat, Pi’i memutuskan untuk pasrah dan membantu ayahnya berdagang dan mengurusi sawah. Untungnya, ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti tes masuk di Madrasah Ibtidayah Muhammadiyah. Apakah Pi’i akan mendapatkan kesempatan tersebut? Apakah selepas sekolah Pi’i akan tinggal bersama ayahnya, merintis usaha bersama atau berkelana mengejar ilmu seperti mimpinya? Silahkan saksikan film ini sendiri. Jangan lupa, nantikan kisah lanjutannya di sekuelnya, Si Anak Panah.
Selain sebagai petinggi Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif juga terkenal sebagai ahli sejarah dan penganut pluralisme. Sepeninggal Gusdur, Syafi’i dianggap sebagai guru bangsa yang mengajarkan perdamaian dan menghargai pluralitas yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, pengangkatan kisah hidupnya ke dalam media visual diharapkan dapat menginspirasi masyarakat.
Dari segi cerita, film ini menawarkan segudang kisah inspiratif yang bisa diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari. Saat ini, film yang menyertakan amanat di dalam ceritanya sangat sedikit. Itu membuat film ini terasa spesial dan pantas ditonton dan dijadikan referensi dalam menjalani kehidupan. Secara teknis, film ini memang memiliki beberapa kekurangan, contohnya kurangnya kelogisan dalam setting waktu di beberapa adegan. Selain itu, plotnya pun berjalan cukup lambat dan datar. Konflik baru muncul di ujung cerita yang disambung dengan penyelesaian yang cukup cepat.
Sebenarnya, trilogi ini memiliki kemungkinan besar untuk menjadi film yang menarik dan disukai penonton. Dilihat dari kisah sang tokoh dan sutradara andal serta kru-kru andal di balik pembuatan film ini, film ini seharusnya dapat menjadi sebuah tontonan wajib yang tidak hanya inspiratif namun juga menghibur. Semoga di film selanjutnya, Damien Dematra tidak hanya memfokuskan dirinya dengan jalan cerita, namun juga “menyelipkan” unsur hiburan dan menyempurnakan kelogisan aspek-aspek di luar cerita dengan cerita itu sendiri agar menjadi tontonan yang lebih baik.
Tanggal rilis:
21 April 2011
Genre:
Drama
Durasi:
100 menit
Sutradara:
Damien Dematra
Pemain:
Radhit Syam, Pong Hardjatmo, Virda Anggraini, Maya Ayu Permata Sari, Ocha Raqmik, Mphammad Firman, Lucky Moniaga
Studio:
Damien Dematra Production