Kebodohan Karyawan Menjadi Masalah Utama Jejaring Sosial
Tingkat penetrasi jejaring sosial telah mendorong sejumlah perusahaan menggunakan alat tersebut untuk berinteraksi dengan konsumen. Berdasarkan survei IDC di Asia Pasifik, 56% perusahaan sudah memiliki jejaring sosial enterprise dan 26% berencana untuk mengadopsi konsep tersebut dalam 18 bulan ke depan.
“Akun Facebook dan Twitter yang secara resmi digunakan oleh perusahaan dihitung sebagai jejaring sosial enterprise,” ujar Claus Mortensen, Director Emerging Technology Research IDC Asia-Pasific. “Pada akhir 2013, tingkat pengadopsian [jejaring sosial enterprise] dapat mencapai 75%.”
Survei IDC menunjukkan bahwa biaya dan keamanan merupakan dua kendala utama yang menghalangi perusahaan dalam mengimplementasi jejaring sosial enterprise. Namun, Claus menekankan bahwa masalah utama jejaring sosial enterprise bukan dua unsur tersebut, melainkan peraturan dan kepatuhan karyawan.
“Fokusnya adalah bagaimana Anda mengelola dan melatih karyawan Anda untuk menjadi warga TI yang baik dan tidak melakukan hal-hal bodoh,” tukas Claus. “Bahaya muncul ketika karyawan menggunakan jejaring sosial untuk berbagi file yang bisa merugikan perusahaan, atau menuliskan hal-hal bodoh mengenai rekan kerja di Twitter.”

Seiring dengan pengumuman rangkaian produk jejaring sosial enterprise dari Microsoft yang digelar di Hotel Four Seasons hari Rabu (21/11) kemarin, Business Group Head Microsoft Office Division Microsoft Indonesia, Bonnie Mamanua, menegaskan bahwa perusahaan harus bisa mengerti dan mengelola cara kerja jejaring sosial.
“Orang-orang di kawasan Asia-Pasifik tidak terlalu memedulikan peraturan, mengelola penggunaan jejaring sosial, konten seperti apa yang boleh di-upload tanpa merugikan atau menciptakan skandal bagi perusahaan,” tambah Alexander Oddoz-Mazet, Director Microsoft Office Division—Business Productivity Microsoft Asia-Pasific. “Mengubah budaya itulah yang menjadi tantangan terbesar dalam mengimplementasi jejaring sosial enterprise.”