Rasio Efisiensi Inovasi Indonesia Tertinggi Se-Asia

Indonesia menempati peringkat pertama se-Asia dalam hal rasio efisiensi inovasi. Menurut data Global Innovation Index (GII) 2013, rasio efisiensi antara nilai output dan input inovasi indonesia berada di poin 1.04. Angka tersebut bahkan lebih tinggi ketimbang Malaysia, Jepang, Singapura, dan Cina.
“Rasio Efisiensi Inovasi membandingkan tingkat output inovasi dengan input inovasi. Asia Tenggara dan Oceania, Cina, Vietnam, dan Indonesia memimpin dengan nilai output yang lebih tinggi dari nilai input,” tulis data lampiran pers rilis dari Huawei, yang diterima jagat Review.

Sekedar informasi, input informasi ialah berbagai sumber daya yang dikhususkan dalam proses menciptakan inovasi. Sementara output inovasi merupakan hasil yang diperoleh dari inovasi itu sendiri, seperti persentase penjualan dari produk baru serta manfaat dari pengetahuan dan teknologi baru. Nilai input inovasi yang dimiliki Indonesia sebesar 31,34 poin, sementara output sebesar 32,34 poin. Ini artinya, Indonesia masih mampu dalam memaksimalkan hasil inovasi yang telah diciptakannya.
Kendati rasio efisiensi menjadi salah satu yang tertinggi pada 2013 ini, seperti dalam tabel, namun nilai input inovasi Indonesia masih rendah. Bahkan tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Indonesia masih memiliki banyak ruang kosong untuk pengembangan, terutama dalam hal institusi riset dan kemajuan bisnis. Dari berbagai sumber, bahkan Indonesia seringkali dipandang sebagai negara yang cederung, lebih fokus mengekstraksi sumber daya alamnya, tetapi kurang memicu inovasi. Hal ini menempatkan banyak negara berkembang berada di jalur pertumbuhan yang lebih lambat.

Sementara Hongkong dan Singapura mempertahankan posisinya di peringkat global 10 teratas dalam hal inovasi. Sedangkan Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Cina menempati enam negara teratas untuk wilayah di Asia. Lalu tiga negara, yakni Korea Selatan, Jepang, dan Cina memperoleh paten teknologi terbanyak. Ini hasil konkrit dari peningkatan investasi riset dan pengembangan dari ketiganya.
“Inovasi adalah darah daging perkembangan sosial dan ekonomi, namun hal ini membutuhkan lingkungan yang terstruktur yang memungkinkan berkembangnya kebijakan pasar bebas dan perlindungan terhadap hak-hak intelektual. Sektor publik dan swasta harus bekerja sama secara terbuka membangun dan mempromosikan lingkungan-lingkungan yang mendukung seperti ini, di mana kemampuan berinovasi yang lebih tinggi dapat memberikan keuntungan kepada seluruh masyarakat.” kata Ken Hu, CEO dan Deputy Chariman di Huawei, yang juga menjadi Knowledge Partner untuk GII 2013.
Wakil editor GII 2013, Bruno Lanvin dalam sebuah acara yang diselenggarakan Huawei mengatakan, inovasi merupakan faktor utama dalam menentukan kemampuan bersaing sebuah negara. Ini juga bisa menjadi simbol kemajuan dan perubahan di seluruh dunia. Walau masih ada banyak tantangan baru baru dihadapi pemain baru, seperti di Indonesia, “kami juga melihat beragam contoh menarik tentang keberhasilaninovasi di pasar-pasar berkembang yang menjadi sumber optimisme akan masa depan inovasi global dan pemulihan ekonomi,” ungkapnya.
Untuk diketahu, Global Innovation Index 2013 diterbitkan Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization (WIPO, sebuah agen khusus di bawah PBB). Laporan GII juga menjadi salah satu tolak ukur kemampuan inovasi dari 142 negara dan kawasan ekonomi dunia. Laporan ini menggunakan beragam kriteria, di antaranya lembaga, sumber daya manusia dan riset, hasil-hasil infrastruktur, serta pengetahuan dan teknologi.















