Mantan PM Malaysia Serukan Agar Internet Disensor
Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tengara yang menyerukan pemblokiran konten negatif di dunia maya. Di Malaysia, keinginan untuk pemblokiran bahkan lebih serius lagi. Bukan konten negatif, melainkan langkah menyensor internet. Artinya, pemerintah mengontrol penuh segala bentuk tindakan warganya di internet.
Hal ini diserukan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Alasan agar internet disensor ialah untuk mempertahankan apa yang disebut “moralitas publik”.

“Internet telah memainkan peran utama dalam merusak moralitas publik,” ujarnya dalam sebuah posting, seperti dikutip dari Asia One. “Hari ini, setiap anak dapat mengakses pornografi yang lebih buruk lagi.”
Ia melanjutkan, “Saya tidak peduli betapa sucinya kebebasan, namun saya pikir sudah waktunya bagi pemerintah, setidaknya pemerintah Malaysia untuk menyensor internet.”
Mahathir merupakan perdana menteri terlama di Malaysia untuk periode 1981-2003. Meski sudah tak lagi menjabat di pemerintahan, namun pemikirannya kerap kali mempengaruhi sejumlah kebijakan politik Malaysia.
Sewaktu Ia masih menjabat PM Malaysia era 90-an, pihaknya sempat menegaskan tidak akan menyensor internet. Alasannya saat itu, guna memikat sejumlah investor asing. Namun kini Ia menegaskan, “Hari ini saya telah berubah pikiran,”
Mahathir dikenal aktif di media sosial dan sering memosting sejumlah tulisan di blog pribadinya. Namun Mahathir mengungkapkan, dirinya juga pernah menjadi korban penyensoran yang dilakukan perusahaan internet. “Ketika saya menulis di blog saya, artikel tentang orang-orang Yahudi, namun tanpa penjelasan apapun, artikel saya malah diblokir untuk ditautkan di Facebook,” ungkapnya.

Meski begitu, tidak semua tokoh politik mendukung sepenuhnya gagasan Mahathir ini, salah satunya Tony Pua, anggota parlemen oposisi dari Partai Aksi Demokratik. Dirinya setuju, internet mesti dikontrol namun tidak perlu ada penyensoran sepenuhnya. Sebab, langkah ini bakal disalahgunakan pemerintah yang berkuasa untuk membungkam kebebasan berpendapat warga dan media online, serta suara kontra dari pihak opoisisi di parlemen.