Komdigi Punya Rencana Baru Olah Limbah Elektronik Indonesia
Kemajuan teknologi memang mengubah cara hidup, tapi di balik semua inovasi yang memudahkan, ada persoalan yang terus tumbuh diam-diam, yaitu limbah elektronik. Laporan Global E-waste Monitor 2024 mencatat, di tahun 2022 Indonesia menghasilkan sekitar 1,9 juta ton e-waste, alias limbah elektronik.

Yang mengagetkannya, angka ini ternyata yang paling tertinggi di Asia Tenggara. Tentunya, angka itu bukan sekadar data, tapi cerminan dari betapa cepatnya siklus gadget dan perangkat digital berputar di tengah masyarakat.
Dari smartphone yang diganti tiap dua tahun, hingga laptop yang usianya tak sampai satu dekade, semuanya punya akhir yang sama, yaitu menumpuk jadi limbah yang jarang tersentuh sistem daur ulang yang layak.
Komdigi Gandeng Berbagai Lembaga untuk Olah Limbah Elektronik
Nah, untuk menata ulang arah kebijakan, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kini menggandeng berbagai pihak. Kolaborasi ini mencakup Kementerian Lingkungan Hidup, BRIN, dan pemerintah daerah, serta melibatkan International Telecommunication Union (ITU) dan UK Foreign, Commonwealth & Development Office (FCDO). Tujuannya bukan sekedar menyusun aturan, tapi membangun metode baru yang benar-benar bisa diterapkan di lapangan, sesuai kondisi tiap wilayah.
Selama ini, sebagian besar limbah elektronik di Indonesia masih ditangani oleh sektor informal. Banyak yang bekerja tanpa perlindungan, tanpa alat yang aman, dan tanpa sistem pengelolaan yang ramah lingkungan.
Komdigi nantinya bakal membuat kebijakan baru yang ditujukan untuk menutup celah tersebut. Supaya nantinya pengelolaan limbah tak lagi berjalan tanpa arah, dan punya dampak nyata bagi lingkungan maupun ekonomi.
Baca Juga: Teknologi HydroHaptics Bikin Mouse dan Joystick Jadi Lentur dan Bisa Dipencet
Pemerintah ingin sistem pengelolaan e-waste di Indonesia tidak berhenti pada pengumpulan, tapi berkembang jadi ekosistem berkelanjutan. Harapannya, sistem yang memberi nilai baru pada sisa-sisa teknologi, lewat proses daur ulang dan pemanfaatan material yang masih bisa digunakan.
Semoga saja regulasi dan inisiatif baik ini bisa terlaksana dengan baik. Kalau dijalankan dengan konsisten, langkah ini bisa jadi titik balik penting.
Karena pada akhirnya, setiap perangkat yang hari ini mempermudah hidup digital kita, suatu saat akan berakhir jadi limbah. Yang menentukan adalah bagaimana pengguna dan pemerintah mengelola akhir siklus itu — apakah jadi beban baru, atau justru jadi peluang menuju masa depan yang lebih bijak dan berkelanjutan.